Wow, Setiap Tahun Rp 400 Triliun Digunakan Untuk Suap Pejabat Publik


Global Corruption Report melansir sekitar US$ 40 miliar atau setara Rp 400 triliun digunakan dunia usaha untuk menyuap pejabat publik setiap tahun. Pemberian suap itu bertujuan untuk memudahkan bisnis dan bahkan ada yang bermotif politik mempertahankan pemerintahan yang korup.

Suap, sepertinya sudah bukan hal yang asing terdengar dalam berbagai macam urusan apapun di negeri ini
Suap, sepertinya sudah bukan hal yang asing terdengar dalam berbagai macam urusan apapun di negeri ini, namun apakah layak disebut menjadi suatu budaya?

“Dengan suap itu  kemudian bisa menyulap suatu kebijakan publik yang memberi kemudahan bisnis,” kata Ketua Dewan Pengurus Transparansi Internasional Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis, pada peluncuran Global Corruption Report 2009, di Jakarta, Rabu (7/10).
Menurut Todung, modus operandi yang dilakukan sangat terorganisasi. Dia menyebutkan, suap kepada pejabat publik juga terjadi  pada perusahaan yang akan initial public offering atau yang akan akan right issue

Sementara itu, Sekretaris Jenderal TII Teten Masduki menjelaskan harga yang dibayar tidak sekadar uang. “Tapi mempertahankan birokrasi, partai, politik dan pemerintahan yang korup,” jelas dia.

Salah satu karikatur kritikan grup musik Slank tentang budaya suap
Salah satu karikatur kritikan grup musik Slank tentang budaya suap

Laporan GCR menunjukkan dari 2.700 lebih eksekutif bisnis yang di survei di 26 negara ditemukan dua dari lima pejabat eksekutif bisnis mengakui pernah diminta melakukan suap ketika berhubungan dengan lembaga publik.

“50% manajer bisnis memperkirakan korupsi menambah biaya proyek sedikitnya 10% dan dalam beberapa kasus lebih dari 25%,” kata dia. Sedangkan satu dari lima eksekutif bisnis  mengakui dikalahkan oleh pesaing yang melakukan suap. “Perusahaan yang doyan suap biasanya menang proyek,” kata Teten.

Nepotisme

Selain suap masalah kedua yang muncul adalah nepotisme. Hasil laporan TI menunjukkan hampir 50% pejabat eksekutif pada 19 negara maju (OECD) mengakui hubungan pribadi dan hubungan dekat sering digunakan untuk memenangkan kontrak publik di negara-negara yang bukan negara maju.

GCR juga menyoroti korupsi telah merusak kinerja perusahaan. Menurut laporan tersebut para menajer perusahaan, pemegang saham mayoritas dan pelaku bisnis lainnya melakukan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi sehingga merugikan pemilik perusahaan, investor, karyawan dan masyarakat.
Selain itu, laporan Global Corruption Report juga menilik pelemahan persaingan sehat pasar yang dilakukan oleh kartel melalui penetapan harga dan skema kolusi lainnya.

“Ini menyebabkan kerugian besar untuk konsumen, pasar dan ekonomi dunia,” jelas Teten.

Data itu menunjukkan lebih dari 283 kartel internasional swasta antara 1990-2005 menyebabkan kerugian ekonomi langsung pada konsumen dari kelebihan biaya dengan jumlah total US$ 300 miliar. Meski demikian, GSR juga mengatakan peran bisnis melawan korupsi cenderung menguat.

“Perusahaan yang memiliki progran antikorupsi dan pedoman etis dapat mengurangi hingga 50% insiden korupsi. Namun, program itu tidak dilakukan dunia usaha tidak sepenuhnya,” jelas Teten.

Menurut dia, 90% dari bisnis top 200 dunia telah mengadopsi tata perilaku bisnis. Namun kurang dari setengah yang melaporkan bahwa mereka memonitor kepatuhan terhadap tata perilaku bisnis itu. Hal tersebut, kata dia, dipengaruhi oleh tidak adanya perlindungan bagi pelapor, keterbukaan dan pelaporan belum memadai.

Atas temuan tersebut, GCR merekomendasikan dibuat standardisasi dalam melakukan praktik bisnis. “Komitmen mengikat dapat diversifikasi dan terbuka untuk dimonitor dari segi kepatuhannya,” kata Teten.

Data Diragukan

Menanggapi itu, Ketua Umum APINDO Sofjan Wanandi meragukan, data TII tersebut. Menurut dia, dana untuk menyuap pejabat sebesar Rp 400 triliun setiap tahun, terlalu tinggi, sehingga tidak mungkin menghasilkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. “Saya tidak percaya angka setinggi itu. Sudah bangkrut negara ini, dan mana ada pertumbuhan lagi,” tegasnya

Senada dengan itu, Direktur INDEF Ikhsan Modjo juga meragukan data tersebut. Menurut dia, dana Rp 400 triliun setiap tahun terlalu banyak untuk kegiatan suap-menyuap pejabat. “Kebanyakan tuh. Paling banyak R
p 300 triliun, atau sepertiga APBN. Dan kalau sampai segitu, tidak ada lagi yang membayar utang, gaji pegawai dan membayar subsidi,” ungkapnya. (Investor)

8 thoughts on “Wow, Setiap Tahun Rp 400 Triliun Digunakan Untuk Suap Pejabat Publik

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s