
Kerusuhan dan kekerasan antaretnis meletus di Tiongkok, terutama di Provinsi Xinjiang. Pertikaian yang melibatkan etnis muslim Uighur dan etnis Han itu pada Minggu lalu (5/7) menewaskan sedikitnya 160 orang dan menyebabkan 828 orang terluka. Insiden itu tejadi setelah ribuan demonstran turun ke jalan. Ratusan orang telah ditangkap.
Saksi mata mengungkapkan, kedua etnis saling menyerang dan menendang. Mereka menjadikan apa saja yang ada di sekitar mereka sebagai sasaran amukan. ”Lebih dari 260 kendaraan diserang dan dibakar. Sebanyak 203 toko juga dirusak,” ujar Wu Nong, direktur kantor berita milik pemerintah di Provinsi Xinjiang, seperti dikutip Associated Press, kemarin (6/7).
Kerusuhan itu bermula dari protes damai yang dilancarkan warga etnis Uighur. Mereka meminta keadilan terkait nasib dua warga Uighur yang tewas terbunuh dalam pertikaian dengan pekerja Han di sebuah pabrik di selatan Tiongkok sebelumnya. ”Kami saling meneriaki, tetapi tidak ada pertikaian dan kontak fisik saat itu,” tutur Yagupu, seorang di antara pendemo warga etnis Uighur di luar sebuah masjid.

Tanpa diketahui penyebabnya, kedua kubu yang tidak bisa menerima teriakan saling menyerang. Korban langsung berjatuhan. Seorang saksi mata mengaku melihat puluhan mayat tergeletak di dekat lokasi bazar. Kakharman Khozamberdi, pemimpin pergerakan politik Uighur di Kazakhstan, mengungkapkan bahwa suara tembakan terdengar semalaman.
Di tempat lain, saksi mata melihat protes skala kecil di Kashgar, kota terbesar kedua di Xinjiang, kemarin (7/7). Karena itu, pihak yang berwenang melakukan operasi pemeriksaan yang lebih ketat di perbatasan. Pemerintah juga memutuskan koneksi telepon dan internet di wilayah itu. Kalaupun bisa dipakai, akses internet berjalan sangat lambat.

Pembatasan akses atas video terkait pertikaian ditingkatkan. Misalnya, Urumqi dihapus sebagai kata kunci dari berbagai situs di Tiongkok, seperti Youku (mirip YouTube). Begitu juga dengan blogging, seperti Fanfou (microblogging Tiongkok) serta Twitter. Hal yang sama diberlakukan pada portal, seperti Sina.com, Sohu.com and 163.com.
Wilayah Uighur dikenal kaya dengan mineral dan minyak. Etnis Uighur memang merupakan mayoritas di Provinsi Xinjiang, tetapi tidak di ibu kota Urumqi. Tiongkok memberikan label beberapa kelompok separatis Uighur sebagai teroris.
Sementara itu, Rebiya Kadeer, mantan pengusaha Xinjiang yang saat ini tinggal di Washington, AS, dituduh sebagai yang bertanggung jawab dalam kerusuhan tersebut. ”Rebiya sempat bercakap-cakap dengan warga Tionghoa di Tiongkok pada 5 Juli lalu untuk menghasut. Selanjutnya, website seperti Uighurbiz.cn dan Diyarim.com digunakan untuk menyebarkan propaganda,” kecam Nur Bekri, gubernur Xinjiang, di stasiun televisi kemarin.

”Kita harus menyingkap topeng Rebiya dan juga membiarkan dunia melihat kebenarannya,” tambah Wang Lequan, seorang eksekutif Partai Komunis.
Peristiwa berdarah tersebut mendapat reaksi dari berbagai pihak. Sekjen PBB Ban Ki-moon meminta Tiongkok menggunakan cara-cara yang damai untuk menyelesaikan pertikaian etnis tersebut. Dia meminta semua pemerintahan juga melindungi kehidupan dan keamanan warga sipil yang ada.
Kecaman lebih keras disuarakan Alim Seytoff, wakil presiden Asosiasi Uighur-Amerika yang berpusat di Washington D.C. ”Kami meminta komunitas internasional mengutuk pembunuhan di Tiongkok terhadap warga Uighur yang tak bersalah,” desaknya.
Pihak berwenang Cina memberlakukan larangan keluar malam di Urumqi, ibukota Provinsi Xinjiang, menyusul kerusuhan besar oleh warga Uighur setempat dan unjuk kekuatan oleh warga suku Han Cina.
Massa warga Cina etnis Han berarak di kota Urumqi, sementara ketegangan antara kelompok etnis dan polisi meningkat.

Massa warga Han tampak membawa parang dan tongkat serta bermacam senjata lain saat berarak di kota Urumqi.
Aparat keamanan menembakkan gas air mata untuk membubarkan warga Cina yang menyatakan mereka memprotes tindak kekerasan yang dilakukan oleh warga etnis Uighur Muslim.
Sebelumnya, ratusan wanita Uighur berunjukrasa atas penahanan lebih dari 1.400 orang berkaitan dengan bentrokan berdarah hari Minggu.
Kedua pihak saling mempersalahkan atas pecahnya tindak kekerasan.
Jumlah warga Cina Han yang berarak di kota Urumqi mencapai ratusan, mungkin ribuan. Mereka berjalan dengan bersenjata tiang besi dan tongkat bambu

Mereka meneriakkany yel-yel bahwa mereka akan melindungi Xinjiang, melindungi diri dan rumah mereka, dan juga berpekik “mampuslah orang Uighur”.
Wartawan BBC melaporkan, balabantuan polisi dan tentara tampak dikerahkan di sana.
Meski masih ada orang-orang Cina Han berkeliaran dengan senjata di tangan, banyak tampaknya sudah pulang.
Aparat Cina mengatakan, 156 orang, kebanyakan warga Cina etnis Han, meninggal dalam tindak kekerasan yang terjadi hari Minggu ketika massa demonstran Uighur menyerang kendaraan sebelum melabrak warga Cina Han setempat dan menghadapi pasukan keamanan di ibukota provinsi Xinjiang, Urumqi.

Kelompok-kelompok warga Uighur mengatakan, lebih banyak lagi orang tewas dalam kerusuhan dan menyatakan 90% korban tewas orang Uighur.
Kerusuhan tampaknya dipicu oleh perkelahian antara orang Uighur dan Cina Han beberapa pekan lalu di sebuah pabrik mainan yang berlokasi ribuan kilometer di Provinsi Guangdong.
Hari Selasa sekitar 200 orang Uighur, yang kebanyakan wanita, menghadapi polisi untuk meminta lebih dari 1.400 orang ditahan atas tindak kekerasan hari Minggu dibebaskan.
Polisi Cina menangkap 1.434 orang karena kerusuhan di Propinsi Xinjiang, demikian laporan media resmi Cina.

Kerusuhan pecah hari Minggu di Urumqi, ibu kota Xinjiang, menyebabkan 156 tewas dan lebih dari 800 terluka.
Hari Senin, kerusuhan itu menyebar ke kota kedua.
Polisi membubarkan aksi protes yang baru di Kashgar, mengusir lebih dari 200 “perusuh” di masjid utama.
Beijing menuduh etnik Muslim Uighur penyebab kekerasan, namun orang Uighur di pengasingan nmengatakan, polisi yang menembaki mahasiswa.


Pemicu Kerusuhan SARA
Tindak kekerasan di Xinjiang tidak terjadi tiba-tiba. Akar penyebabnya adalah ketegangan etnis antara warga Uighur Muslim dan warga Cina etnis Han.
Masalah ini bisa dirunut balik hingga beberapa dekade, dan bahkan ke penaklukan wilayah yang kini disebut Xinjiang oleh Dinasti Qing Manchu pada abad ke-18.
Pada tahun 1940-an, muncul Republik Turkestan Timur di sebagian Xinjiang, dan banyak warga Uighur merasakan itu menjadi hak asasi mereka.
Namun, kenyataannya, mereka menjadi bagian Republik Rakyat Cina pada tahun 1949, dan Xinjiang dinyatakan sebagai salah satu kawasan otonomi Cina dengan mengesampingkan fakta bahwa mayoritas penduduk di sana pada saat itu orang Uighur.

Status otonomi tidak tulus, dan meski Xinjiang dewasa ini dipimpin oleh gubernur dari kalangan warga Uighur, orang yang memegang kekuasaan riil adalah sekretaris jenderal daerah Partai Komunis Cina , Wang Lequan, yang orang Cina etnis Han.
Perpindahan warga
Di bawah pemerintahan Partai Komunis, terjadi pembangunan ekonomi yang sangat gencar, namun kehidupan warga Uighur semakin sulit dalam 20-30 tahun terakhir akibat masuknya banyak warga Cina muda dan memiliki kecakapan teknis dari provinsi-provinsi di bagian timur Cina.
Para migran ini jauh lebih mahir berbahasa Cina dan cenderung diberi lapangan pekerjaan terbaik. Hanya sedikit orang Uighur berbahasa Cina.
Tidak mengejutkan, ini menimbulkan penentangan mendalam di kalangan warga Uighur, yang memandang perpindahan orang-orang Han ke Xinjiang sebagai makar pemerintah untuk menggerogoti posisi mereka, merongrong budaya mereka dan mencegah perlawanan serius terhadap keuasaan Beijing.
Dalam perkembangan yang lebih baru, anak-anak muda Uighur terdorong untuk meninggalkan Xinjiang untuk mendapatkan pekerjaan di belahan lain Cina, dan proses ini sudah berlangsung secara informal dalam beberapa tahun.
Ada kekhawatiran khusus atas tekanan pemerintah Cina untuk mendoroang wanita muda Uighur pindah ke bagian lain Cina untuk mendapatkan pekerjaan. Dan, ini memperkuat kekhawatiran bahwa mereka akhirnya akan bekerja di bar atau klub malam atau bahkan pelacuran tanpa perlindungan keluarga atau masyarakat mereka.
Islam adalah bagian integral kehidupan dan identitas warga Uighur Xinjiang, dan salah satu keluhan utama mereka terhadap pemerintah Cina adalah tingkat pembatasan yang diberlakukan oleh Beijing terhadap kegiatan keagamaan mereka.
Jumlah masjid di Xinjiang merosot jika dibandingkan dengan jumlah pada masa sebelum tahun 1949, dan institusi keagamaan itu menghadapi pembatasan yang sangat ketat.
Anak-anak di bawah usia 18 tahun tidak diizinkan beribadah di masjid. Demikian juga pejabat Partai Komunis dan aparat pemerintah.
Madrasah dibatasi
Lembaga-lembaga Islami lain yang dulu menjadi bagian sangat penting kehidupan kegamaan di Xinjiang dilarang, termasuk persaudaraan Sufi, yang berpusat di makam pendirinya dan menyediakan jasa kesejahteraan dan semacam kepada anggotanya.
Semua agama di Cina dikendalikan oleh Administrasi Negara untuk Urusan Agama, tapi pembatasan terhadap Islam di kalangan warga Uighur lebih keras daripada terhadap kelompok-kelompok lain, termasuk etnis hui yang juga muslim, tapi penutur bahasa Cina.
Ketatanya pembatasan itu akibat pertautan antara kelompok-kelompok muslim dan gerakan kemerdekaan di Xinjiang. Gerakan ini sangat bertentangan dengan posisi Beijing.
Ada kelompok-kelompok di dalam Xinjiang yang mendukung gagasan kemerdekaan, tapi mereka tidak diperkenakan mewujudkannya secara terbuka, sebab “memisahkan diri dari ibu pertiwi” dipandang sebagai penghianatan.
Pada dekade 1990-an, setelah ambruknya Uni Soviet dan munculnya negara-negara muslim independen di Asia Tengah, terjadi peningkatan dukungan terbuka atas kelompok-kelompok “separatis”, yang memuncak pada unjukrasa massal di Ghulja pada tahun 1995 dan 1997.
Beijing menindas unjukrasa dengan penggunaan kekuataan luar biasa, dan para akitvisi dipaksa keluar dari Xinjiang ke Asia Tengah dan Pakistan atau terpaksa bergerak di bawah tanah.
Iklim ketakutan
Penindasan keras sejak digulirkannya kampanye “Strike Hard” (Gebuk Keras” pada 1996 mencakup kebijakan memperketat pengendalian terhadap kegiatan agama, pembatasan pergerakan orang dan tidak menerbitkan paspor dan menahan orang-orang yang didicurigai mendukung separatis dan anggota keluarga mereka.
Ini menciptakan iklim ketakutan dan kebencian sangat kuat terhadap pemerintah Cina dan warga Cina etnis Han.
Mengejutkan bahwa kebencian ini tidak meledak menjadi kemarahan publik, dan unjukrasa sebelumnya, tapi itu dampak ketatnya kontrol yang diberlakukan Cina atas Xinjiang.
Ada banyak organisasi kaum pendatang Uighur di Eropa dan Amerika Serikat. Dalam banyak kasus mereka mendukung otonomi sejati bagi kawasan tanah asal mereka.
Di masa lalu, Beijing juga mempersalahkan Gerakan Islami Turkestan Timur memicu kerusuhan, meski tidak ada bukti bahwa gerakan ini pernah muncul di Xinjiang.
Aparat di Beijing tidak bisa menerima bahwa kebijakan mereka sendiri di Xinjiang mungkin penyebab konflik, dan berupaya mempersalahkan orang luar yang mereka tuding memicu tindak kekerasan. Itu juga terjadi dalam kasus Dalai Lama dan Tibet.
Kalau pun organisasi pelarian Uighur ingin menggerakan kerusuhan, tentu sangat sulit bagi mereka untuk melakukannya, dan ada banyak alasah lokal menjadi penyebab kerusuhan tanpa perlu ada campur tangan dari luar.
Sumber: Jawapos, BBC,Republika, Xinhua,AFP, AP,Dailymail
wah ikhtiar harrus lebih giat…
astagfirullah hal’adziiiiiiimmmm…. iya aQ jg kasian, tp belum tentu mrk yag wafat beneran kasian. bisa aja mereka skrg gi enak-enakan di kipas ma bidadari-bidadari tuhan yang cwaaaaaaantiek jelita.. kan mati syahid, kita mana tahu kita bisa kaya’ mereka ato nggak… pokoknya ikhtiar harus labih giat,, occciiiieeey…..
GOBLOK yg mati Suku Han TOLOL Ugyur yg nguasai kota xinjiang makanya baca ampe bar TOLOL
padahal di indonesia jga bnyak kerusuhan masal kaya gitu ,,,kaya sampit,ambon,poso,tapi ga tau beritanya ato pelaku nya..berita nya ngilang
islam penuh ajaran toleransi antar ummat beragama sehingga ummat minoritas selalu aman didaerah muslim mayoritas.
sebaliknya………………….. lihat dan pikirlah fakta muslim minoritas baik di dalam atau di luar negeri.
sebenarnya kita tidak tahu kejadian disana. berita dari media massa belum tentu ada yang benar… ada media yang punya sudut pandang sendiri2… jangan sampai kita membuat opini… yang dapat menimbulkan hal yang tidak kita inginkan… ya to…..