Begitu juga, perempuan diharamkan memakai sepatu dengan hak tinggi, lagi-lagi dengan alasan penipuan: dengan sepatu berhak tinggi, perempuan tampak lebih tinggi dari aslinya, dan itu menipu. Dalam hati saya berkata: kalau diterus-teruskan, perempuan juga dilarang berhias, karena bisa menipu pula, dia tampak lebih cantik dari aslinya, dan itu menipu laki-laki.
April 2007, sebuah fatwa yang menghebohkan muncul dari Mesir. Dr. Ezzat Atiyyah, kepala Jurusan Hadis di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo, berpendapat bahwa seorang karyawan yang bekerja di ruangan tertutup dan berduaan dengan seorang karyawati lain yang bukan “mahram”, boleh menetek dari perempuan itu untuk menghindari larangan khalwat. Dengan menetek dari perempuan itu, karyawan tersebut berubah status menjadi seorang anak dari perempuan tersebut, dan dengan demikian keduanya boleh ber-khalwat.
Fatwa ini didasarkan kepada sebuah Hadits yang sahih. Orang-orang terperangah mendengar fatwa itu. Akibat fatwa ini, Dr. Ezzat dipecat oleh pihak universitas Al-Azhar, karena dalam penilaian yang terakhir itu, fatwa tersebut menyebabkan kebingungan dalam masyarakat, dan menjadikan Islam sebagai bahan olok-olok di mata orang luar Islam.
Di Indonesia sendiri, sejumlah fatwa heboh juga kerapkali kita jumpai dari waktu ke waktu. Hingga sekarang, Majlis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, mengharamkan seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen.
Bagaimana kita, sebagai umat Islam, menghadapi fatwa-fatwa heboh seperti ini? Pertama-tama, yang harus dipahami oleh umat Islam, dan juga umat lain yang hendak memahami dinamika internal dalam umat Islam. Apa yang disebut sebagai fatwa bukanlah semacam surat ensiklik dari Vatikan yang harus ditaati oleh seluruh umat.
Berbeda dengan agama Katolik, Islam tidak mengenal lembaga klerikal yang terpusat yang menentukan kata putus dalam segala hal yang berurusan dengan soal agama. Islam lebih mirip dengan agama Protestan, meskipun tidak seluruhnya persis. Baik dalam Islam dan Protestan tak dikenal lembaga terpusat yang bisa menjadi otoritas terakhir yang memutus segala hal berkenaan dengan agama dan keputusan itu mengikat umat.
Meskipun para ulama fikih mengatakan bahwa ijithad dalam Islam diikat oleh metode dan prosedur tertentu yang kurang lebih baku, tetapi jelas hasil ijtihad seorang ulama sangat ditentukan oleh banyak faktor, termasuk faktor-faktor di luar pertimbangan agama. ”Mind-set”, paradigma berpikir dan kecenderungan intelektual ulama bersangkutan juga menentukan hasil akhir dari suatu ijtihad. Bahkan, latar belakang sosial-budaya dari ulama itu juga ikut mewarnai proses berijtihad yang ia lakukan.
Dengan melihat proses fatwa seperti itu, saya berharap kita bisa menempatkan fatwa secara proporsional. Apa yang disebut sebagai fatwa adalah tak lebih dari “legal opinion”, pendapat hukum. Fatwa mengenai kasus tertentu tidak berarti langsung menjadi kata pamungkas dalam kasus tersebut, sebab ulama atau sarjana lain bisa memiliki pendapat yang berbeda.
Tidak semua orang kompeten untuk mengeluarkan sebuah fatwa. Tetapi, setiap orang berhak menilai apakah sebuah fatwa masuk akal atau tidak, apalagi jika fatwa itu menyangkut kehidupan masyarakat banyak. Dengan kata lain, cara terbaik yang dapat membantu orang-orang awam di bidang hukum Islam untuk menilai sebuah fatwa adalah akal sehat. Itulah modal mental paling berharga yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Dengan akal sehat, orang bisa sampai pada pendapat yang berbeda-beda. Perbedaan adalah hal yang biasa dan tentu alamiah.
Tetapi, memberangus perbedaan dengan alasan bahwa pendapat tertentu bertentangan dengan “fatwa” dari seorang atau lembaga ulama dan karena itu sesat, jelas tak masuk akal dan kontradiktif dengan hukum masyarakat.
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla
sejelek-jelek orang yg artikel diatas ulil absar sesat
belajar agama darinya sumbernya yang jernih
http://www.salafy.or.id
masya allah…. kalian yang berkomentar merasa diri paling benar kah? Apabila kalian memang tidak setuju dengan sang penulis, cukup ungkapkan argumen dan alasannya. Saya sendiri tidak setuju dengan beberapa poin yang diungkapkan penulis, tapi siapa saya bisa menghujat orang lain bahkan mengatakan saudaranya sendiri kafir? Nabi besar Muhammad SAW pun tidak akan berbuat seperti itu saat menghadapi orang-orang yang bertentangan dengan beliau. Kalian hebat sekali bisa bermain sebagai TUHAN? sholat kalian sudah benarkah? niat kalian sudah lurus kah? hadirkah syetan dalam setiap ucapan? Jangan sampai kita jatuh di lubang yang jauh lebih dalam dari orang yang kita komentari.
hati-hati sama anjingnya yahudi…ulil adalah salah satunya..
Lah.. mengutip dari Ulil Abshar-Abdalla. Dia gembongnya JIL (Jaringan Iblis Liberal) ya pastilah argumen dan statementnya gak karuan ngalor ngidul menyesatkan umat. Sayang sekali mas Benny jika anda mengutip dari Ulil. Ulil terkenal sekali di Indonesia.. dan udah menjadi berita yg umum bahwa sosok JIL, Jaringan Iblis Liberal golongan yg dah tercemar di Indonesia. Kalo mau mengutip.. coba kutip dari orang yg berkompeten dan paham soal agama. Ulil kok dijadikan dasar.. sekolah agama aja gak…
sing penting rukun islam dan rukun iman dan al quran dan hadis,dan menjauhi molimo(madon main maling madat mendem=main perempuan,judi,narkoba,mabok2an).gotu aja kok repot.
Anda salah besar…
justru kita sebagai seorang muslim
Wajib untuk tidak mengucapkan selamat Natal kepada orang Nasrani…
Sudah jelas dalam Al-Qur’an Allah berfirman…
Lakum diinukum waliyadin…
Untukku agamaku dan untukmu agamamu….
anda sakit jiwa pikiran anda tertutupi uang yahudi sehingga anda menulis hal2 yg telah jelas dalam islam menjadi meragukan …segera anda taubat sebelum terlambat .. jangan jadi orang munafik dalam islam nauzu billah